Hari: 20 April 2025

Mengenal Sejarah Lebih Jauh Peh Cun di Tangerang

Mengenal Sejarah Lebih Jauh Peh Cun di Tangerang

Perayaan Peh Cun, atau yang juga dikenal sebagai Festival Perahu Naga, adalah tradisi Tionghoa yang kaya akan sejarah dan makna. Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, komunitas Tionghoa merayakan festival ini dengan berbagai cara. Di Tangerang, jejak sejarah dan perayaan Peh Cun memiliki kekhasan tersendiri yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh.

Akar sejarah Peh Cun di Tangerang tidak bisa dilepaskan dari kedatangan dan perkembangan komunitas Tionghoa di wilayah ini. Sejak berabad-abad lalu, Tangerang telah menjadi salah satu pusat permukiman Tionghoa di sekitar Batavia (Jakarta). Para pendatang ini membawa serta tradisi dan budaya mereka, termasuk perayaan-perayaan penting seperti Peh Cun.

Secara tradisional, Peh Cun diperingati setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Festival ini erat kaitannya dengan kisah Qu Yuan, seorang menteri setia pada zaman Dinasti Chu di Tiongkok kuno. Untuk mengenang kesetiaannya dan mencegah tubuhnya dimakan ikan, masyarakat melemparkan nasi yang dibungkus daun bambu (bakcang) ke sungai. Tradisi inilah yang kemudian berkembang menjadi berbagai kegiatan khas Peh Cun.

Di Tangerang, perayaan Peh Cun seringkali diwarnai dengan kegiatan yang melibatkan komunitas secara luas. Meskipun tidak selalu ada perlombaan perahu naga seperti di beberapa daerah lain, esensi dari kebersamaan dan pelestarian tradisi tetap terasa kuat. Masyarakat Tionghoa di Tangerang biasanya berkumpul, berbagi bakcang, dan melakukan ritual-ritual tertentu yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Selain itu, lokasi geografis Tangerang yang memiliki sungai-sungai juga turut memengaruhi bagaimana Peh Cun dirayakan. Sungai Cisadane, misalnya, memiliki nilai historis tersendiri bagi perkembangan komunitas Tionghoa di Tangerang. Meskipun aktivitas perahu naga mungkin tidak semeriah dulu, sungai tetap menjadi bagian penting dalam narasi sejarah Peh Cun di wilayah ini.

Menelusuri sejarah Peh Cun di Tangerang memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang akulturasi budaya dan bagaimana sebuah tradisi dari negeri leluhur tetap hidup dan beradaptasi di tanah rantau. Perayaan ini bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga cerminan dari perjalanan panjang dan kontribusi komunitas Tionghoa dalam membentuk wajah budaya Tangerang yang beragam.

Mengungkap Keahlian Berburu dengan Tulup: Senjata Tradisional Lontar dari Tanah Jawa

Mengungkap Keahlian Berburu dengan Tulup: Senjata Tradisional Lontar dari Tanah Jawa

Pulau Jawa, dengan keanekaragaman hayati dan tradisi berburu di masa lalu, memiliki berbagai jenis senjata tradisional yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Salah satunya adalah tulup, sebuah senjata tradisional berupa sumpit yang digunakan untuk melontarkan anak panah kecil atau peluru. Meskipun mungkin lebih dikenal di luar Jawa, catatan sejarah dan etnografi menunjukkan keberadaan dan penggunaan tulup di beberapa wilayah Pulau Jawa sebagai alat berburu yang efektif. Mempelajari tulup sebagai salah satu senjata tradisional Jawa memberikan wawasan tentang teknik berburu tradisional dan pemanfaatan sumber daya alam.

Tulup umumnya terbuat dari sebatang bambu atau kayu ringan yang dilubangi memanjang. Panjang tulup bisa bervariasi, dari satu hingga dua meter. Anak panah atau peluru (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau lidi yang diberi getah beracun) dimasukkan ke dalam lubang tulup. Cara menggunakannya adalah dengan meniupkan udara dengan kuat melalui salah satu ujung tulup untuk melontarkan anak panah atau peluru ke sasaran. Keahlian meniup dan membidik sangat penting untuk mencapai akurasi yang diinginkan.

Menurut catatan dari seorang ahli etnografi Universitas Padjadjaran, Dr. Agung Permana, yang melakukan penelitian tentang tradisi berburu di Jawa Barat bagian selatan pada tanggal 5 Juni 2025, tulup dulunya digunakan oleh masyarakat di beberapa daerah hutan di Jawa untuk berburu binatang kecil seperti burung, tupai, atau monyet. Keunggulan tulup adalah suaranya yang relatif senyap, sehingga tidak menakuti hewan buruan. Penggunaan getah beracun pada anak panah atau peluru juga meningkatkan efektivitas dalam melumpuhkan buruan.

Meskipun tidak dirancang sebagai senjata dalam pertempuran antar manusia, tulup tetap merupakan senjata tradisional yang mematikan dalam konteks berburu. Keahlian membuat tulup yang lurus dan halus, serta meracik getah beracun yang efektif, merupakan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.

Saat ini, dengan adanya senjata api dan perubahan gaya hidup, penggunaan tulup sebagai alat berburu di Jawa sudah sangat jarang. Namun, di beberapa komunitas adat atau sebagai bagian dari pertunjukan seni tradisional, tulup masih dapat ditemukan dan diperagakan. Upaya pelestarian lebih fokus pada nilai historisnya sebagai alat berburu tradisional dan representasi dari kearifan lokal dalam memanfaatkan alam. Mempelajari tulup bukan hanya tentang mengenal sebuah senjata tradisional, tetapi juga tentang memahami teknik berburu tradisional dan hubungan antara manusia dan alam di Jawa pada masa lalu.

Waspada! 5 Makanan Ini Jangan Terlalu Lama Ditinggal di Kulkas

Waspada! 5 Makanan Ini Jangan Terlalu Lama Ditinggal di Kulkas

Kulkas sering dianggap sebagai solusi ajaib untuk memperpanjang kesegaran makanan. Namun, tahukah Anda bahwa ada beberapa jenis makanan yang justru kualitasnya menurun drastis atau bahkan menjadi tidak aman dikonsumsi jika disimpan terlalu lama di dalam kulkas? Berikut adalah 5 makanan yang sebaiknya tidak Anda biarkan berlama-lama di sana:

1. Sayuran Hijau Lembut (Bayam, Selada, Kangkung)

Sayuran berdaun hijau seperti bayam, selada, dan kangkung memang sebaiknya disimpan di kulkas agar tetap segar. Namun, kelembaban di dalam kulkas justru dapat mempercepat pembusukan dan membuat daunnya menjadi layu, berlendir, bahkan kehilangan nutrisinya jika disimpan terlalu lama, lebih dari 3-4 hari.

2. Buah Berair (Stroberi, Anggur, Beri Lainnya)

Buah-buahan berair seperti stroberi, anggur, dan jenis beri lainnya memang nikmat disantap dingin. Namun, menyimpan terlalu lama di kulkas dapat membuat teksturnya menjadi lembek, berair, dan rasanya kurang segar. Selain itu, risiko tumbuhnya jamur juga meningkat setelah beberapa hari. Idealnya, konsumsi buah-buahan ini dalam 2-3 hari setelah disimpan.

3. Daging Giling

Daging giling, baik sapi, ayam, maupun ikan, sangat rentan terhadap pertumbuhan bakteri. Meskipun suhu dingin kulkas dapat memperlambat proses ini, menyimpan daging giling terlalu lama dapat meningkatkan risiko kontaminasi bakteri berbahaya. Sebaiknya, daging giling dimasak dalam waktu 1-2 hari setelah pembelian atau penyimpanan di kulkas.

4. Sisa Makanan yang Sudah Dimasak

Sisa makanan yang sudah dimasak memang praktis disimpan di kulkas untuk disantap kemudian. Namun, kualitas rasa dan teksturnya akan menurun seiring waktu. Selain itu, risiko kontaminasi bakteri juga tetap ada setelah beberapa hari. Usahakan untuk mengonsumsi sisa makanan yang sudah dimasak dalam waktu 3-4 hari. Lebih dari itu, sebaiknya dibuang untuk menghindari risiko keracunan makanan.

5. Produk Susu yang Sudah Dibuka (Susu Cair, Yogurt)

Produk susu yang sudah dibuka memiliki masa simpan yang lebih pendek dibandingkan saat masih tersegel. Menyimpan susu cair atau yogurt terlalu lama di kulkas setelah dibuka dapat menyebabkan rasa asam, perubahan tekstur, dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri. Umumnya, produk susu yang sudah dibuka sebaiknya dikonsumsi dalam waktu 5-7 hari.